BAB I
PENDAHULUAN
Hukum internasional sebenarnya sudah
sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang
Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius
Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi
masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah
hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius
Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih
dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de
Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of
Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)
Sesungguhnya, hukum internasional
modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya
Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years
war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang
bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan
dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh
dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
(Phartiana, 2003 ; 41)
Perkembangan hukum internasional
modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang
terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan
Positivis.
Menurut golongan Naturalis,
prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan
manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal,
sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan
bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum
alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah
Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan
Alberico Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Internasional
Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam
pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya,
hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan
hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan
asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara,
yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan
kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas
negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata
antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang
berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai
definisi dari hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius
dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis(Perihal Perang dan Damai). Menurutnya
“hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan
beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari
mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”.
Sedang menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem
hukum yang di bentuk dari hubungan antara negara-negara”
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar
hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada
negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek
hukum lainnya.
Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh
para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh
Charles Cheny Hyde :
“hukum internasional dapat
didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas
prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara,
dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka
satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup :
a. organisasi internasional, hubungan
antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan
peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau
antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan
antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ;
b. peraturan-peraturan hukum tertentu
yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan
negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut
bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4)
Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar
Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan
subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’.
(Kusumaatmadja, 1999; 2)
Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas
sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum
internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku,
hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang
tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau
peraturan-peraturan hukumnya.
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara
tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah
jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya.
B. Sejarah dan Perkembangan Hukum
Internasional
Hukum internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal
eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal
dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius
Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi,
dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum
yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.
Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah
menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit
de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of
Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)
Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang
pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648,
yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat
itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau
territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi
semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana, 2003 ; 41)
Perkembangan hukum internasional modern ini, juga
dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua
aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis.
Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam
semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari
prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat
ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan
Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari
ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau
Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis.
(Mauna, 2003 ; 6)
Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang
mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh
negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah
kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam
perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang
dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social,
La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah
pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini,
antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de
Vattel
Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat,
karena adanya faktor-faktor penunjang, antara lain : (1) Setelah Kongres Wina
1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip
hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain, (2).Banyak dibuatnya
perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang,
netralitas, peradilan dan arbitrase, (3). Berkembangnya perundingan-perundingan
multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru.
Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang
sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: (1). Banyaknya
negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya
hubungan antar negara, (2). Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang
mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar
negara di berbagai bidang, (3). Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional
yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global, (4).
Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa
Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam
berbagai bidang. (Mauna, 2003; 7)
C.
Sumber-sumber Hukum Internasional
Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu:
sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber
hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas materi dasar yang
menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri.
Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang
membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau
wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah
dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu.
Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:
1. dasar kekuatan mengikatnya hukum
internasional;
2. metode penciptaan hukum internasional;
3. tempat diketemukannya
ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu
persoalan konkrit. (Burhan Tsani, 1990; 14)
Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional,
sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili
perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international
conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international
custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general
principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial
decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang
merupakan sumber hukum internasional tambahan. (Phartiana, 2003; 197)
D. Subyek Hukum Internasional
Subyek hukum internasional diartikan sebagai pemilik,
pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum
internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan hukum
internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum
internasional
Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui
oleh masyarakat internasional, adalah:
1.
Negara
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban
Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum
internasional adalah:
a. penduduk yang tetap;
b. wilayah tertentu;
c. pemerintahan;
d. kemampuan untuk mengadakan hubungan
dengan negara lain
2.
Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional
menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe :
a. Organisasi internasional yang
memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum,
contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
b. Organisasi internasional yang
memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik,
contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary
Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
c. Organisasi internasional dengan
keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association
of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
3.
Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah
Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional.
Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam
hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga
menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional
merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh
lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan
bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang
Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang
kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing
wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun
menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC)
dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)
4.
Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai
subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari
1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan
sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat
dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi
hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya,
tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang
kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun
wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia,
sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara
membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan
besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan
kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)
5.
Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent)
Kaum belligerensi pada awalnya
muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh
karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan.
Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti
perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke
negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah
mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri
sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat
oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut,
berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak
menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
6.
Individu
Pertumbuhan dan perkembangan
kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban
serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat,
terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10
Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi
manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi
individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
7.
Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional memang
merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional. Eksistensinya
dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di
beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan
dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan
kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi,
struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.
E.
Peranan Hukum Internasional Dalam
Menciptakan Perdamaian Dunia
1.
Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai.
Ketentuan hukum internasional telah
melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini
seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa
Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang
kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan
selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai
Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar
“semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa
agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai
dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar
pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah
penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan
dapat ditempuh melalui:
2.
Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional
melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada
arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan
dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum.
Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu
sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang
bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
(1) Perlunya persetujuan para pihak
dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(2) Sengketa diselesaikan atas dasar
menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan
prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur
pengadilan arbitrase.
Arbitrase terdiri dari seorang
arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para
pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan
oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan
oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan
khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan
arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang
memuat:
1. persetujuan para pihak untuk terikat
pada keputusan arbitrase;
2. metode pemilihan panel arbitrase;
3. waktu dan tempat hearing (dengar
pendapat);
4. batas-batas fakta yang harus
dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan
yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990,
214)
Masyarakat internasional sudah
menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain:
1. Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang
Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce)
yang didirikan di Paris, tahun 1919;
2. Pusat Penyelesaian Sengketa
Penanaman Modal Internasional (International Centre for Settlement of
Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC;
3. Pusat Arbitrase Dagang Regional
untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di
Kuala Lumpur, Malaysia;
4. Pusat Arbitrase Dagang Regional
untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan
di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
3.
Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga
Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan
peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi,
wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak
negara-negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa
menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen
Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah
Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut.
Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara
di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah
Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.
Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum
utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Namun sesungguhnya, pendirian
Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan
kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan
pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan
Secara umum, Mahkamah
Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1. melaksanakan “Contentious
Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada
persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. memberikan “Advisory Opinion”,
yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah
memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai
“Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa
persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai
oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
1. Perjanjian internasional (international
conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international
custom);
3. Prinsip-prinsip hukum umum (general
principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial
decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang
merupakan sumber hukum internasional tambahan.
Mahkamah Internasional juga
sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu
didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal
ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa.
Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya
mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
Yang dapat menjadi pihak hanyalah
negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa
dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada
persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan
di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional
tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya
para pihak).
4.
Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan
Bangsa-bangsa
a.
Mahkamah Pidana Internasional (International Court of
Justice/ICJ)
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak
pembentukannya telah memainkan peranan penting dalam bidang hukum inetrnasional
sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dunia.
Selain Mahkamah Internasional (International
Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, saat ini
Perserikatan Bangsa-bangsa juga sedang berupaya untuk menyelesaikan “hukum
acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui
Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta
tersebut akan berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara.
Berbeda dengan Mahkamah
Internasional, yurisdiksi (kewenangan hukum) Mahkamah Pidana Internasional ini,
adalah di bidang hukum pidana internasional yang akan mengadili individu yang
melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras),
kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.
Negara-negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa tidak secara otomatis terikat dengan yurisdiksi Mahkamah ini,
tetapi harus melalui pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta
Mahkamah Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263)
b. Mahkamah Kriminal Internasional
untuk Bekas Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia/ICTY)
Melalui Resolusi Dewan Keamanan
Nomor 827, tanggal 25 Mei 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk The
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, yang bertempat
di Den Haag, Belanda. Tugas Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang
yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum
humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia. Semenjak
Mahkamah ini dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran berat
dan 20 diantaranya telah ditahan.
Pada tanggal 27 Mei 1999, tuduhan
juga dikeluarkan terhadap pemimpin-pemimpin terkenal, seperti Slobodan
Milosevic (Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden
Serbia), yang dituduh telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
melanggar hukum perang. (Mauna, 2003; 264)
c.
Mahkamah Kriminal untuk Rwanda (International Criminal
Tribunal for Rwanda)
Mahkamah ini bertempat di Arusha,
Tanzania dan didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas Mahkamah ini adalah
untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan pembunuhan missal
sekitar 800.000 orang Rwanda, terutama dari suku Tutsi. Mahkamah mulai
menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan Walikota
Taba, dan juga Clement Kayishema dan Obed Ruzindana yang telah dituduh
melakukan pemusnahan ras (genosida) . Mahkamah mengungkap bahwa bahwa
pembunuhan massal tersebut mempunyai tujuan khusus, yaitu pemusnahan
orang-orang Tutsi, sebagai sebuah kelompok suku, pada tahun 1994.
Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal
Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum
selesai, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyiapkan pembentukan
mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para penjahat perang di zaman
pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975 sampai dengan 1979 yang
telah membunuh sekitar 1.700.000 orang.
Jika diperkirakan bahwa tugas
Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah menyelesaikan tugas mereka, maka
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengeluarkan resolusi untuk
membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang sebagaimana diketahui memiliki
sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265)
BAB III
KESIMPULAN
Pada dasarnya yang dimaksud hukum
internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena
dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum
internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata
internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur
hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada
hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana
mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara
lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac
Pacis(Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional
didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua
negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan
diri di dalamnya ”.
Sedang menurut Akehurst : “hukum
internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan antara
negara-negara”
Definisi hukum internasional yang
diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau
Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak
memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardiwisastra Yudha Bhakti,
2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung
Brownlie Ian, 1999, Principles of
Public International Law, Fourth Edition, Clarendon Press, Oxford
Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum
dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty.
Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar
Hukum Internasional, Cetakan ke-9, Putra Abardin
Mauna Boer, 2003, Hukum
Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,Cetakan
ke-4, PT. Alumni, Bandung
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar
Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju, Bandung
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi
dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju,
Bandung
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !