Home » Cerpen » Cerpen Sosial : Hak Udin Diketiak Negara

Cerpen Sosial : Hak Udin Diketiak Negara

Written By Unknown on Jumat, 03 Mei 2013 | 06.30



         Pagi ini harus segera selesai semua pekerjaan, gumam Nur saat harus menyetrika dengan cepat semua seragam merah putih. Anknya masih tertidur dengan pulas, sinar lampu kecil kamar tidur hanya memperlihatkan sebaris wajah, entah mirip Nur atau mirip Bapaknya anak itu. Nur kembali mebereskan semua itu sebelum adzan subuh terdengar dari mushola seberang.
Kembali nur melihat nasi yang sedang di masaknya, kemudian mengambil beberapa lauk di wajan untuk anaknya tercinta. Semua sudah selesai, tinggal membereskan rumah dan menyapu. Nur menghela nafas, ibunya yang tua masih tertidur, tak tega membangunkan sepagi ini, ketika batuknya mulai menjadi saat alergi pagi, entah namanya adalah asma atau hanya penyakit tua saja.     
 Nur menyeka keringat di dahinya, wajah cantik keibuan masih bertengger ayu walau beberapa kerut mulai tampak. Nur belum terlalu tua, saat ditinggal mati suaminya dahulu dia baru berusia 35 tahun, dan anaknya sekarang Udin yang masih SD kelas 2  hidup bersamanya. Suaminya meninggal saat  kecelakaan ditempat kerja. Dia hanya dapat santunan dari para teman kerja, tidak dari jasa raharja, karena Suaminya tidak pernah secara remi menikahinya. Nikah sirri kata orang-orang, kata nur ini nikah betulan, hanya saja tidak lewat KUA. Suaminya dahulu adalah anak seorang kaya raya, tapi tanpa restu keluarga dia menikahi Nur dan hidup bersama ibu Nur yang sudah tua. Suaminya ingin menikahi Nur dengan resmi Agama dan Negara, tapi apa daya saat masalah persuratan menghalangi mereka untuk menikah, dan jalan alternative adalah nikah secara agama saja.“Ayo bangun nak… sudah adzan…” bisik Nur ke tilinga Udin. Dan si kecil itu hanya menggeliat beralih posisi, membentuk huruf U. Nur tersenyum, kembali mengangkat beberapa pakaian kotor untuk di rendam. Di kamar mandi, ibu Nur sudah mengambil wudhu, sesekali terdengar suara batuknya.
Nur kembali mendatangi anaknya dan membangunkan, kali ini berhasil, UDin menguap lebar, dan tersenyum lebar. ‘Ayo cepat sholat subuh, sudah iqomah tuh”.
Kali ini Nur yakin, udin mirip Bapaknya dahulu, yang periang, suka tersenyum dan sedikit manja. Tapi apa arti mirip wajah dan karakter, jika kesemuanya itu dinafikan oleh hukum. Dan itu sangat menyakitkan hati Nur. Bahkan Pemerintah sendiri, tidak pernah membela Nur. Tapi giliran pemilu, Nur dianggap tamu istimewa, diajari nyoblos, diajari milih, diajari ini itu. Tapi saat Nur menuntut haknya, hal anaknya pemerintah berdalih dengan undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 Ayat 2 dan pasal 43 Ayat 1, Nur ingat sekali,saat pengacara keluarga suaminya mengatakan itu. Anak yang lahir dari luar perkawinan selama ini hanya memiliki hubungan perdata kepada ibu dan keluarga ibu. Nur menangis disujudnya, Nur ingin berontak untuk hak anaknya. Secara biologis Udin adalah anak dari Bapak dan Ibunya, dia lahir karena ada ikhtiar, dia lahir karena ada sebab akibat. Kenapa Negara tidak mengakuinya.
Dan biaya sekolah udin harus ditanggung nur sendiri, bukunya, alat sekolahnya. Udin anak pandai, tapi tidak mendapatkan sekolah bagus, karena biaya sangat mahal. Padahal ahli waris dari bapak Udin adalah hak Udin. Hak Udin mendapatkan cinta saudaranya, mendapatkan harta dan segala fasilitas waris dari ayahnya. Dan, Nur hanya seorang tukang cuci dan pembantu serabutan dirumah Hajah Susi. Nur tidak ingin menuntut lebih, dia hanya ingin keadilan untuk Udin.

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Teruslah hidup demi mencapai suatu tujuan

Teruslah hidup demi mencapai suatu tujuan
 
Support : | Rizal Pribadi |
Proudly powered by Blogger
Jangan Berubah. SINGA PATROMAN -
Template Design by Published by #