Sejumlah perempuan yang menikah dengan warga negara asing menuntut
pemerintah segera mensahkan Undang-Undang Kewarganegaraan Ganda Terbatas Bagi
Anak-anak.
Bulan April ini Auk Murat,Sophia Latjuba
dan Anne J. Cotto tengah harap-harap cemas. Mereka menunggu realisasi
pemerintah yang bisa menenteramkan hati mereka yang waswas akan status anak.
Ketiga artis itu hanyalah sedikit orang
dari sekian banyak perempuan Indonesia yang menikah dengan warga negara asing
(WNA). Karena berprofesi sebagai artis, media menyorot mereka. Namun
sesungguhnya tidak hanya perempuan warga negara Indonesia (WNI) berprofesi
artis yang menikah dengan pria WNA.
Selama ini, menurut sistem kewarganegaraan
di Indonesia, anak yang lahir dari ayah WNA secara otomatis mengikuti
kewarganegaraan ayahnya. Dalam banyak kasus, si ibu yang WNI seringkali
kesulitan mendapat hak asuh atas anaknya tersebut.
Inilah yang diperjuangkan Auk Murat dan
teman-temannya di KPC Melati (Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu).
Berbagai kantor pemerintahan dan juga gedung wakil rakyat sudah mereka datangi,
guna meminta perubahaan Undang-Undang (UU) Nomor 62/1958 tentang
Kewarganegaraan. “UU tersebut sudah seharusnya diadakan perubahan,” ujarnya,
saat diundang DPR untuk masalah ini, Februari lalu.
Seperti ditulis majalah Gatra, ia
demikian gigih memperjuangkan hak asuh anaknya yang masih di bawah umur, Nicola
dan Tantiana, hasil pernikahannya dengan seorang pria WNA.
Dalam perjuangannya tersebut, Auk juga
mendapatkan dukungan dari sejumlah wanita senasib, guna mengubah UU yang
mengatur status warga negara seorang anak yang lahir dari bapak WNA.
Menurutnya, anak adalah salah satu dari
kelompok rentan yang harus dan wajib, bagi negara untuk melindungi mereka,
sehingga mereka dapat meraih masa depan tanpa keterbatasan.
Auk, 35, mantan peragawati era 90-an
yang kini menjadi perancang sepatu itu menyadari bahwa birokrasi yang harus
dilalui tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Misi kami, hati nurani kami
berkata sampai perjuangan ini bisa kami lihat hasilnya,” katanya.
Senada dengan Auk, artis sinetron Anne
J. Cotto juga menginginkan UU Kewarganegaraan Ganda Terbatas untuk anak-anak
perkawinan campuran itu segera disahkan. Sampai saat ini, ia mengaku belum siap
untuk memiliki anak karena hukum yang berlaku untuk kewarganegaraan sang anak,
menjadikan Anne berpikir ulang untuk memiliki momongan.
Segera disahkan, Kewarganegaraan
ganda terbatas artinya bagi anak-anak yang masih di bawah umur diberi
kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya. Ia baru akan
menentukan pilihan definitif pada saat mencapai usia dewasa.
Keinginan Auk dan teman-temannya di
KPC Melati nampaknya akan membuahkan hasil. Karena menurut kabar yang beredar,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menandatangani Undang-Undang ini pada
bulan April ini.
Pada 1 Februari lalu, Panja DPR
menyetujui untuk memasukkan usul kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak
hasil perkawinan perempuan WNI dengan pria WNA ke dalam revisi Undang-Undang
No. 62 Tahun 1958. DPR memang sedang melakukan pembahasan atas perubahan
Undang-Undang tentang Kewarganegaraan itu di tingkat Panja.
Anggota Panja Prof. Rustam E.
Tamburaka berjanji akan terus memperjuangkan sistem kewarganegaraan ganda
terbatas hingga ke tahap pembahasan yang lebih tinggi. “Anak yang dilahirkan
itu adalah anak-anak ibu juga,” ujar anggota Fraksi Partai Golkar itu.
Selain itu, penentuan batas usia dewasa
sempat menjadi pembahasan yang cukup dilematis, apakah 18 atau 21 tahun. Penentuan batas usia
penting karena menyangkut waktu penentuan pilihan kewarganegaraan bagi anak
hasil perkawinan campuran, apakah akan ikut ayah atau ibunya.
Guru besar hukum
perdata internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Zulfa Djoko Basuki
mengakui sistem hukum Indonesia masih menggunakan parameter yang berbeda-beda
tentang kedewasaan. Apalagi tiap negara bisa saja menggunakan ukuran yang
berbeda.
Di Jerman, misalnya, seseorang baru
bisa memilih salah satu kewarganegaraannya lima tahun setelah dewasa. Jadi,
sekitar usia 23 tahun. Usia itu dianggap sudah matang bagi seseorang menentukan
pilihan kewarganegaraan. Berkaitan dengan perkawinan campuran, Prof. Zulfa
menyarankan untuk mengacu kepada Konvensi PBB tentang hak anak.
KASUS KEWARGANEGARAAN
ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan
anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan
Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia
setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang
bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak
yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi
tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan
campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing
:
1.
Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari
perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara
Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak
mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak
terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal
dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi
wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang
berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat
memperoleh pensiun suami.
2.
Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari
perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara
asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing
sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu
Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya
pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu
untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan
bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi
anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam
praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak,
dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan
hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya
dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya
kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa
(belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut
tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).
Menurut UU
Kewarganegaraan Baru :
1.
Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan
Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang
baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas
yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1)
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah
asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan negara tempat kelahiran.
2)
Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas
adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat
kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3)
Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang
menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4)
Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas
yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak
mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan
anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak
punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan
kewarganegaraan anak menjadi hilang.
2.
Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan
Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir
dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga
negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan
ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus
menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan
paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini
merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan
campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan
menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum
perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal
indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16
A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil
Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk
status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar
negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya ,
tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia,
sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam
wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang
hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi
indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan,
perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum,
soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata
internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam
hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka
seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila
ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan
maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu
akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu
melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal
perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang
perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah
maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum
Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan
dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri
(hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum
Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan
hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan,
lalu itu semua tergatung dari ketentuan mana yang harus diikutinya. Hal
tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum
perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !