Home » Makalah » MAKALAH PEMIKIRAN GUS DUR

MAKALAH PEMIKIRAN GUS DUR

Written By Unknown on Senin, 29 April 2013 | 18.14


BAB I
PENDAHULUAN

Di tengah-tengah situasi reformasi yang menghendaki dilakukannya penataan ulang terhadap berbagai masalah: ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya, sangat dibutuhkan adanya pemikiran-pemikiran kreatif, inovatif dan solutif. K.H. Abdurahman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur termasuk tokoh yang banyak memiliki gagasan kreatif, inovatif dan solutif tersebut. Pemikirannya yang terkadang keluar dari tradisi Ahl Al-Sunnah wal Jama’ah menyebabkan ia menjaditokoh kontroversial. Perannya sebagai Presiden Republik Indonesia yang keempat menyebabkan ia memiliki kesempatan dan peluang untuk memperjuangkan tercapainya gagasan-gagasan itu. Sebagai seorang ilmuan yang genius dan cerdas, ia juga melihat bahwa untuk memberdayakan umat Islam, harus dilakukan dengan cara memperbarui pesantren. Atas dasar ini ia dapat dimasukkan sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
  1. Latar Belakang
Abdurahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, dan dengan nama lengkap Abdurahman al-Dakhil, lahir pada tanggal 4 Agustus 1940, di Denanyar, Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Walaupun Gus Dur selalu merayakan hari ulang tahunnya pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya hari lahir Gus Dur bukanlah tanggal itu. Sebagaimana juga dengan banyak aspek dalam hidupnya dan pribadinya, banyak hal tidaklah seperti apa yang terlihat. Memang Gus Dur dilahirkan pada hari keempat bulan kedelapan. Namun perlu diketahui bahwa tanggal itu menurut penanggalan Islam, yaitu bahwa ia dilahirkan pada bulan Sya'ban, bulan kedelapan dalam penanggalan itu. Sebenarnya tanggal 4 Sya'ban 1940 adalah tanggal 7 September.
Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim, mantan menteri Agama tahun 1949. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jami'yah Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi masa Islam terbesar di IndonesiaIbunyaNy. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Kakek dari ibunya adalah K.H. Bisri Syamsuri juga merupakan tokoh NU setelah K.H. Abdul Wahab.
Secara geneologis, Abdurahman Wahid memiliki keturunan “darah biru” dan, menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyayi sekaligus. Baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya, Abdurahman Wahid adalah sosok yang menempati strata sosial tertinggi dalam masyarakatIndonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU dan tokoh terbesar bangsa Indonesia. Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU, karena kedudukannya sebagai ulama karismatik.
Pada masa kecilya, Abdurahman Wahid tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Ia lebih memilih tinggal bersama kakeknya daripada tinggal bersama ayahnya. Melalui kakeknya ia belajar membaca al-qur’an di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Berkat tinggal bersama kakeknya yang merupakan tokoh yang banyak dikunjungi tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting lainnya, maka dari sejak kecil Abdurahman Wahid sudah mengenal tokoh-tokoh politik dan orang-orang penting tersebut.
  1. Pendidikan
Mengenai riwayat pendidikannya, Abdurahman Wahid mulai menuntut ilmu :
a. SD Jakarta 1947-1953
b. SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957
c. Pondok pesantren Rapyak, Yogyakarta, 1954-1957
d. Pondok pesantren Tegalrejo, Magelang Jawa Tengah, 1957-1959
e. Pondok pesantren tambak beras, sambil mengajar di Madrasah Mualimat Tambak Beras Jombang, 1959-1963.
f. Belajar di Ma’had al-Dirosah al-Islamiyah (Departement og Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University, Cairo Mesir, 1964-1969.
g. Belajar di Fakultas Sastra Universitas Bagdad Irak, 1970-1972.
h. Menjadi dekan dan dosen Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Asyari Tebu Ireng Jombang., 1972-1974.
i. Sekretaris pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang 1974-1979.
j. Pengasuh Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, 1979 sampai sekarang.
k. Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar Jombang, 1996 sampai sekarang.
l. Anggota Dewan Universitas Saddam Husain Bagdad. [1]
Abdurahman Wahid adalah seorang tokoh besar bertarap Internasional yang banyak memiliki kemampuan. Padanya terdapat bidang ilmu Islam bertarap ulama besar. Kiyai, bahkan wali juga terdapat keahlian dalambidang ilmu pengetahuan umum dan kombinasi dari berbagai kemampuan tersebut menyebabkan Ia banyak memiliki kesempatan untuk mengekpresikannya dalam berbagai aktifitas.[2]
Guru Abdurahman Wahid antara lain; Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Kiyai Khudari, Rufiah, Iskandar, K.H. Fatah, K.H. Masduki, Bisri Samsuri, Kiyai Fatah.
B. PEMIKIRAN
Abdurahman Wahid dan orang-orang yang tertarik dengannya merupakan generasi neo-modernis Islam, termasuk tokoh-tokoh lain seperti Nurcholis Madjid, Jalaludin Rahmat, Dawam Raharjo dan Amien Rais yang menganjurkan Islamisasi atau re-Islamisasi bangsa Indonesia, Abdurahman Wahid menekankan Indonesia, pribumisasi atau kontekstualisasi Islam. Dengan cara ini, ia ingin menggabungkan nilai-nilai dan keyakinan Islam dengan kultur setempat. ”Sumber Islam adalah wahyu yang mempunyai norma-norma sendiri, karena sifatnya yang permanent. Di sisi lain budaya adalah ciptaan manusia dan oleh karena itu berkembang sesuai dengan perubahan sosial, tetapi hal ini tidak menghalangi manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.”[3]
Masalah pribumisasi Islam ada dua tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema sentralnya yaitu : “Salahkah jika dipribumikan? Dan pribumisasi Islam”.
Menurut Gus Dur pribumisasi Islam adalah suatu pemahaman islam yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hokum-hukum agama, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dan budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi ushul al-fiqh dan qowaid al-fiqh.
Dalam proses ini Gus Dur pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keIslamannya. Al-qur’an harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-qur’an hanyalah untuk mempermudah pemahaman bukan menggantika al-qur’an itu sendiri.
Abdurahman Wahid benar-benar sebuah teka-teki, ia bukan tradisionalis konserfatif, bukan pula modernis islam. Dia seorang pemikir liberal, seorang pemimpin organiasasi islam berbasis tradisi terbesar. Sebagai seorang cendekiawan inovatif yang memeragakan profesional biasa atau intelektual, dia memimpin suatu organisasi ulama (NU).
C. RESPON MASYARAKAT
Dinatara gagasan yang menjadi kotrofersi adalah ketika Gus Dur mengatakan Assalamu’alaikum seperti Ahlan Wasahlan atau Sobahul Khoirartinya bisa diganti dengan “selamat pagi” atau “apa kabar”. Gagasan ini membuat geger umat, termasuk kalangan NU sendiri, wakil ketua PBNU Syaiful Madjad mengakui bahwa ucapan Gus Dur tentang masalah tersebut sempat membuat gelisah warga NU, dan sejumlah kiyai sepuh NU.
Golongan NU yang tidak sepakat dengan Gus Dur lebih banyak sampai akhirnya kurang lebih dari 200 kiyai berkumpul di Darul Tauhid untuk mengadili Gus Dur.[4]
D. CORAK PEMBAHARUAN
Sebagai ulama, budayawan dan pemikir, ia banyak mengeluarkan gagasan-gagasan diantaranya membentuk kelompok warung pemikir yang bertujuan untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam NU, mendirikan kelompok Forum demokrasi pada tahun 1991.[5]
Gus Dur adalah intelektual bebas dari tradisi akademik pesantren sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas. Dengan adanya tulisan-tulisannya menjadi bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampir teori atau tanpa visi, yang sewaktu-waktu bisa terjerumus pada fragmatisme politik.
Jika dilihat dari segi cultural Gus Dur melintasi tiga cultural :
  1. Kultural dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal.
  2. Budaya Timur Tengah yang terbuka dan keras.
  3. Lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler.[6]
Pilar pemikiran Abdurahman Wahid yaitu :
a) Keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substantif ditafsirkan ulang agar tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern.
b) Keyakinannya bahwa dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara.
c) Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis dan pluralis, bukan ideologi negara yang inklusif.
Legalisme islam adalah produk masa lalu, suatu realitas sejarah yang dibolehkan yang kemudian menjadi agenda reformasi Islam kontemporer. Islam historis menyibukkan gerakan atau tradisi dari dinamisme ke formalisme legal. Karena islam menjadi dilembagakan terutama melalui hukum. Abdurahman Wahid yakin bahwa islam bermula sebagai suatu reformasi dinamis yang mengangungkan status manusia sebgai kholifah Allah di muka bumi yang bertanggungjawab untuk menyaksikan menyebarkan dan menerapkan cara hidup yang dibenarkan Tuhan.[7]
Dalam buku bunga rampai pesantren terdapat 12 artikel yang secara umum bertemakan pesantren. Di dalamnya mennujukkan sikap optimismenya bahwa pesantren dengan ciri dasarnya mempunyai potensi yang lues untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan fleksibilitasnya pesantren dapat mengambil peran secara signifikan, bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi dalam seting sosial budaya bahkan politik dan ideologi negara.
Gus Dur berpendapat perlunya agama diterjemahkan ke dalam budaya setempat. Sesuai dengan tradisi dan lingkungan NU yang dekat dengan budaya setempat. Pandangan Gus Dur menekankan korelasi antara pemahaman agama dan realitas sosial budaya. Dengan kata lain, dalam pengembangan pemahaman agama, aspek kontekstual harus ikut dipertimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan sikap para kiai tradisional di Jawa, yang selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa interaksi antara agama dan budaya setempat tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian, Gus Dur mengingatkan bahwa penerjemhan agama ke dalam budaya setempat harus dikontrol supaya ciri khas Islam tidak hilang. Hal itu berarti ”Jawanisasi Islam” ataupun ”Islamisasi Jawa”.
E. KESIMPULAN
Dilihat dari corak gagasan dan pemikirannya, tampak bahwa Gus Dur dapat dikategorikan sebagai pemikir multi warna. Karena dalam pemikirannya terdapat gagasan-gagasan yang unik yang dibangun atas dasar pandangan keagamaan, kemodernan dan kerasionalannya yang membawanya menjadi orang yang mempunyai pemikir ultradisional, rasional, liberal dan sekaligus kultural dan aktual.
Gagasan dan pemikirannya dalam bidang pendidikan secara signifikan berkisar pada modernisasi pesantren, mulai dari visi, misi, tujuan, kurikulum, menejemen dan kepemimpinan yang ada di pesantren harus diperbaiki sesuai dengan perkembangan zaman era globalisasi.
PENUTUP
Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nyalah pemakalah dapat menyelesaikan pembuatan makalah PPMDI, meskipun di dalamnya banyak kekurangan dan kesalahan baik segi penulisan, pengetikan, redaksionalnya, karena kami percaya bahwa kebenaran itu hanyalah milik Allah, oleh karena itu kritik dan saran sangat kami perlukan dari pembaca. Kurang lebihnya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Bisri Mustafa, Beyond The SimbolicBandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 1
Nata Abudin, Tokoh-tokoh Pembauran Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. 3
Jhon Esposito. L-Jhon Vall, O, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Cet. 1
Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, Cet. 1
Muslim Romdono, 72 Tokoh Muslim Indonesia, Jakarta: Restu Ilahi, 2005
Dedy Malik Jamaludin – Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia,Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998. Cet. 1

[1] K.H. Mustafa Bisri, Beyond The Simbol, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1 h. 23-24
[2] Prof. Dr. H. Abudinata, M.A. Opcit, h. 334
[3] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) h. 261-262
[4] E. Kosasih, Hak Gus Dur Untuk Nyeleneh, (Bandung: Pustaka Hidayat, 2000) cet. 1 h. 55
[5] Romdono Muslim, S.Ag, Tokoh Muslim Indonesia, (Jakarta : Restu Ilahi, 2005) h. 32
[6] K.H. Mustafa Bisri, Opcit, h. 36
[7] Jhon L, Esposito-Jhon O, Vall, Opcit, h. 234-235
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Teruslah hidup demi mencapai suatu tujuan

Teruslah hidup demi mencapai suatu tujuan
 
Support : | Rizal Pribadi |
Proudly powered by Blogger
Jangan Berubah. SINGA PATROMAN -
Template Design by Published by #